Doa Seorang Pejuang Stroke di Tengah Malam

riniyuliastuti34@gmail.com
0

 


Doa Seorang Pejuang Stroke di Tengah Malam

Oleh: Jeffrie Gerry


Pengantar

Malam itu sunyi. Waktu menunjukkan pukul 2 dini hari. Seluruh rumah telah tertidur, hanya suara detak jam dinding yang menemani saya. Saya terbaring di ranjang dengan tubuh separuh mati rasa. Saya tidak bisa kembali tidur. Bukan karena gelisah, tapi karena tubuh saya tak lagi mengenal kenyamanan seperti dulu.

Di antara sakit, dingin, dan sepi, saya hanya bisa berdoa. Bukan doa yang panjang, bukan doa yang hafalan, tapi doa yang mengalir dari hati yang rapuh. Doa seorang pejuang stroke yang sedang mencari kekuatan di antara malam yang menggigil.

Artikel ini bukan sekadar tulisan. Ini adalah curahan hati. Sebuah catatan jiwa yang tertatih namun tetap ingin percaya. Karena kadang-kadang, di tengah malam yang sunyi, satu-satunya harapan yang tersisa hanyalah Tuhan itu masih ada.


Ketika Tubuh Tak Lagi Milikmu

Stroke bukan hanya perkara tubuh yang lumpuh. Ia adalah pengalaman kehilangan sebagian kendali atas hidupmu. Bayangkan, bangun di pagi hari dan tiba-tiba tubuh bagian kananmu tidak merespon. Kamu ingin bangkit, tapi hanya bisa menatap atap. Kamu ingin bicara, tapi lidahmu menolak. Kamu ingin menjerit, tapi air mata lebih dulu jatuh.

Di saat seperti itu, malam menjadi tempat paling jujur untuk berserah.

Malam-malam saya berubah drastis sejak stroke datang. Tak lagi bisa tidur telentang. Pinggul sakit. Punggung pegal. Saya harus dibantu untuk berguling. Tapi saya tidak ingin terus merepotkan. Maka saya diam saja. Saya tahan semua nyeri itu. Dan saat tubuh tidak bisa tidur, jiwa pun membuka pintu kepada Sang Pencipta.


Doa yang Tidak Dirancang

Banyak orang berpikir doa harus runtut, sopan, dan panjang. Tapi bagi saya, doa di tengah malam itu justru lebih jujur saat tanpa susunan. Doa saya hanyalah gumaman. Kadang hanya satu kalimat: “Tuhan, aku masih hidup.” Dan di kalimat itu, saya merasa didengar.

Kadang saya menangis tanpa kata. Air mata mengalir ke bantal. Tapi saya tahu, air mata pun bisa jadi doa. Doa yang tidak terdengar telinga manusia, tapi sampai ke langit.

Doa-doa itu bukan permintaan mukjizat besar. Saya tidak meminta agar besok langsung bisa berjalan. Tidak. Doa saya sesederhana ini: Berikan aku kekuatan untuk bertahan malam ini, Tuhan. Hanya malam ini dulu.


Dialog Sunyi di Tengah Duka

Saya mulai berbicara pada Tuhan seperti pada sahabat lama. Saya tidak menyalahkan-Nya. Saya hanya ingin bicara. Dan entah bagaimana, saat saya mulai curhat kepada-Nya, rasa sakit saya sedikit demi sedikit berkurang.

Kadang saya bertanya:
“Tuhan, kenapa aku yang kena stroke? Bukankah banyak orang jahat di luar sana yang sehat-sehat saja?”

Namun setelah beberapa saat, saya juga menjawab sendiri pertanyaan itu:
“Mungkin bukan soal siapa yang pantas kena, tapi siapa yang kuat untuk belajar melalui ini.”

Di tengah keheningan malam, saya mulai memahami bahwa penderitaan bukan kutukan. Ia bisa jadi panggilan. Sebuah jalan sunyi yang membawa kita kembali mengenal diri, dan mengenal Tuhan yang selama ini mungkin kita abaikan.


Ketika Waktu Tak Lagi Berguna

Jam 2.30 pagi. Saya melihat ke arah dinding. Waktu bergerak, tapi hidup saya seperti diam. Orang-orang mungkin sedang tidur nyenyak, bermimpi indah, atau mungkin sedang terbangun untuk buang air kecil lalu tidur lagi. Tapi saya masih di sini. Duduk bersandar pada bantal, mencoba menyesuaikan posisi yang tak kunjung nyaman.

Tapi malam itu, waktu berubah fungsinya. Ia bukan lagi tentang detik atau menit. Ia menjadi ruang jiwa. Di tengah ketidaknyamanan, saya mendengar hati saya sendiri berkata:

“Jeffrie, kamu masih di sini. Kamu belum selesai.”

Dan saya tahu, saya belum selesai. Tubuh saya mungkin lemah, tapi jiwa saya sedang menguat. Malam menjadi ruang pembentukan yang sakral.


Doa Kecil yang Besar Maknanya

Pernah satu malam, saya hanya berdoa:

“Tuhan, besok kalau aku bisa angkat sendok sendiri, aku akan bersyukur sepanjang hidup.”

Keesokan harinya, tangan kanan saya—yang sudah tiga minggu tak bisa bergerak—bergetar dan perlahan bisa mengangkat sendok kecil berisi bubur. Saya tidak menangis karena bisa makan. Saya menangis karena Tuhan menjawab doa kecil saya.

Saya sadar, bagi orang sehat, itu mungkin sepele. Tapi bagi saya, itu seperti mendapatkan kembali sebagian hidup yang sempat hilang.

Dari situlah saya belajar bahwa doa tidak perlu besar. Doa yang paling besar adalah doa yang paling tulus. Dan malam-malam menjadi tempat terbaik untuk menyampaikan ketulusan itu.


Kesendirian yang Justru Menemani

Aneh rasanya menyadari bahwa ketika semua orang tidur, justru saya merasa paling dekat dengan Tuhan. Di siang hari, pikiran saya penuh dengan rasa sakit, terapi, kata-kata dokter, harapan keluarga, dan gangguan emosi. Tapi di malam hari, hanya ada saya dan Tuhan.

Kesendirian itu menakutkan di awal. Tapi lama-lama, ia menjadi sahabat. Saya bisa menangis tanpa ditanya. Saya bisa bicara tanpa disela. Dan saya bisa mendengar bisikan harapan di hati yang biasanya tertutup oleh kegaduhan dunia.


Malam Sebagai Tempat Penerimaan

Di malam yang gelap dan sunyi, saya belajar menerima kenyataan. Bukan pasrah. Tapi menerima bahwa hidup saya telah berubah. Saya menerima bahwa saya tak bisa seperti dulu. Tapi saya juga menerima bahwa saya bisa tetap hidup, meski dengan cara yang baru.

Penerimaan ini datang bukan dari kata-kata motivasi di luar, tapi dari doa yang muncul dari dalam. Malam mengajarkan saya untuk melepaskan ego, menurunkan tuntutan, dan memeluk kenyataan.

Dan di saat itulah, saya merasa damai.


Doa untuk Orang-Orang yang Saya Cintai

Tak semua doa di malam hari saya panjatkan untuk diri sendiri. Kadang, di tengah kesakitan saya, saya justru teringat ibu saya yang selalu bangun tiap dua jam hanya untuk memeriksa selimut saya. Saya teringat saudara saya yang selalu sabar menuntun saya ke kamar mandi. Saya berdoa:

“Ya Tuhan, kuatkan mereka juga. Jangan biarkan mereka patah karena aku.”

Stroke mengajarkan saya bahwa cinta sejati terlihat saat kamu tak berdaya. Dan malam mengajarkan saya bahwa cinta bisa disampaikan lewat doa diam yang tak perlu diketahui oleh siapa-siapa.


Saat Doa Menjadi Lagu Jiwa

Kadang, saya tidak tahu harus berdoa apa. Maka saya mulai bersenandung lirih. Lagu-lagu rohani yang pernah saya dengar di masa kecil tiba-tiba muncul kembali di kepala saya. Saya nyanyikan perlahan:

"Kau tak pernah tinggalkanku...
Walau di tengah badai..."

Saya tidak tahu dari mana lagu itu muncul. Tapi saya tahu, itu adalah doa. Doa dalam bentuk lain. Doa yang bukan dari bibir, tapi dari jiwa.


Kebangkitan yang Dimulai dari Doa

Hari ini saya sudah jauh lebih baik. Bisa berjalan pelan, bisa makan sendiri, bahkan menulis artikel ini dengan tangan saya sendiri. Tapi saya tahu, semua ini bukan hanya karena fisioterapi atau obat. Ini karena doa-doa di malam hari. Doa-doa yang tidak tercatat, tapi membekas dalam kehidupan saya.

Doa adalah energi. Ia tidak terlihat, tapi ia menggerakkan. Dan saya percaya, doa yang tulus di tengah malam bisa membuka pintu-pintu yang bahkan tenaga medis tak bisa jamah.


Pesan dari Seorang Pejuang Stroke

Bagi kamu yang sedang terbaring sakit. Yang merasa sendiri. Yang merasa hidupmu tak lagi seperti dulu. Izinkan saya berkata:

Bangkitlah lewat doamu. Mulailah berbicara pada Tuhan di tengah malam. Tidak perlu kalimat yang indah. Cukup jujur. Cukup tulus. Cukup menjadi dirimu.

Karena ketika dunia tertidur, Tuhan justru terjaga.

Dan satu hal lagi—jangan pernah remehkan satu tetes air mata yang jatuh di malam hari. Bisa jadi, itulah titik balik hidupmu.


Penutup

Saya tidak tahu berapa malam lagi yang harus saya lalui dengan tubuh yang belum sempurna. Tapi saya tidak lagi takut. Karena saya tahu, malam bukan hanya milik penderitaan. Ia juga milik penyembuhan.

Dan doa—doa yang sederhana, jujur, dan mengalir dari hati yang rapuh—adalah cara paling kuat untuk bertahan.


Dalam Sunyi, Aku Berdoa

Dalam gelap yang membalut ranjang,
kulihat bayang tubuhku yang tak lagi sama,
tangan yang dulu menggenggam dunia,
kini hanya bisa meraba harapan.

Malam datang tanpa aba-aba,
meninggalkan dingin di sela-sela luka,
tapi justru di situlah aku merasa paling hidup—
ketika tak ada yang tersisa selain doa.

Ya Tuhan, aku tak datang dengan doa panjang,
aku hanya ingin berkata: aku masih di sini.
Dengan separuh tubuh yang tak patuh,
dan hati yang masih menunggu peluk-Mu.

Aku tak pinta berjalan esok pagi,
aku hanya mohon:
berilah aku kekuatan untuk melewati malam ini.
Hanya malam ini dulu, Tuhan.

Air mata ini bukan keluhan,
ia adalah bahasa jiwaku yang tak bisa diucap,
ia adalah pujian dari seorang prajurit yang terluka,
tapi masih memilih untuk percaya.

Doaku tak berbunga indah,
tak punya bait penuh kata-kata suci,
doaku hanyalah desah napas yang masih tersisa—
seperti anak kecil yang memanggil ibunya di tengah mimpi buruk.

Dan ketika semua tertidur lelap,
aku tahu Kau tetap terjaga.
Mendengar lirihku, melihat gemetar jemariku,
dan memeluk batinku yang lelah.

Tuhan, malam ini aku hanya ingin Kau tahu,
aku mencintai hidup,
meski hidup tak lagi semudah kemarin,
dan aku mencintai-Mu,
meski aku tak selalu mengerti rencana-Mu.

Jadi biarlah malam ini menjadi saksi,
saksi bahwa aku masih bertahan,
masih berharap,
masih percaya…

Bahwa dari sunyi ini,
Engkau akan bangkitkan aku kembali—
bukan hanya untuk berjalan,
tapi untuk hidup dengan jiwa yang baru.


Artikel ini dibuat berdasarkan yang terjadi pada penulis yang sekarang pasca pemulihan stroke – Jeffrie Gerry.

Posting Komentar

0Komentar

💬 Tinggalkan Komentar Anda
Terima kasih telah membaca artikel di Cara Lawan Stroke. Kami percaya, setiap komentar Anda bukan hanya kata-kata—tetapi bagian dari perjalanan penyembuhan bersama.

Silakan tinggalkan pertanyaan, pengalaman pribadi, atau sekadar pesan penyemangat di bawah ini. Kami akan membaca dan merespons dengan hati. Karena di sini, Anda tidak sendirian.

Note: Mohon untuk tidak menyertakan promosi obat, testimoni herbal tanpa bukti medis, atau tautan yang tidak relevan. Komentar yang mengandung unsur hoaks, spam, atau ujaran kebencian akan dihapus demi kebaikan bersama.

Posting Komentar (0)