Aku Pernah Tolak Obat Dokter, Ini Akibatnya

riniyuliastuti34@gmail.com
0

 


Aku Pernah Tolak Obat Dokter, Ini Akibatnya

Hari itu, aku duduk sendirian di tepi ranjang rumah sakit. Selang infus masih tertancap di tangan kanan, sementara dokter yang tadi datang memberiku secarik resep obat dengan penjelasan panjang lebar. Tapi begitu ia pergi, hatiku mulai goyah. Aku pandangi daftar nama-nama obat itu dengan curiga, seolah tiap kapsul menyimpan niat buruk.

"Apa semua ini benar-benar perlu?" pikirku. Tubuhku yang baru saja dilanda stroke ringan, masih lemah. Tapi lebih lemah lagi adalah kepercayaanku pada pengobatan medis saat itu. Aku, Jeffrie Gerry, saat itu lebih percaya pada opini teman, potongan informasi internet, dan pengalaman orang lain yang belum tentu relevan denganku.

Aku memutuskan untuk tidak menebus resep. Aku pulang hanya dengan semangat dan beberapa saran alami: minum air rebusan daun, makan buah-buahan, hindari stres, dan banyak istirahat. Kusebut diriku "pejuang alami". Tapi sebenarnya, aku sedang menyangkal satu hal penting: bahwa tubuhku butuh bantuan dari ilmu kedokteran modern.

Awal dari Keputusan yang Salah

Minggu pertama tanpa obat, aku merasa baik-baik saja. Aku bahkan sempat berpikir, "Lihat, tubuhku bisa pulih sendiri." Tapi aku tak tahu apa yang terjadi di balik kulit, di dalam pembuluh darahku, di pusat-pusat otak yang terganggu.

Minggu kedua, mulai muncul gejala aneh. Tangan kiri terasa berat, kadang lemas. Aku anggap itu kelelahan biasa. Tapi kemudian wajahku mulai terasa tertarik sebelah, aku tak bisa bicara jelas, dan saat itu aku tahu: ini bukan kelelahan. Ini kambuhan.

Aku dibawa kembali ke rumah sakit. Dokter memandangku dengan campuran prihatin dan kecewa. Pemeriksaan menunjukkan bahwa serangan stroke kembali terjadi, kali ini lebih luas dari yang pertama.

"Kalau saja Bapak minum obatnya waktu itu..." kata dokter pelan. Kalimat itu menamparku lebih keras dari serangan stroke itu sendiri.

Rasa Malu dan Penyesalan

Dalam ruang perawatan intensif, aku merasa seperti pecundang. Bukan hanya karena tubuhku kini harus berlatih ulang untuk berjalan dan bicara, tapi karena aku mengkhianati diriku sendiri. Aku menolak pertolongan yang ditawarkan, hanya karena gengsi dan rasa curiga yang tak berdasar.

Aku malu karena dulu merasa tahu segalanya. Karena merasa bisa sembuh dengan hanya niat dan usaha alami. Padahal stroke bukan sakit ringan. Ini perang, dan aku sengaja meninggalkan senjata.

Keluargaku datang. Istriku menggenggam tanganku yang dingin, matanya sembab. Anakku, yang biasanya ceria, kini hanya menatapku dari ujung ranjang dengan diam yang menyayat. Aku merasa bersalah karena menempatkan mereka dalam kecemasan dan ketakutan yang seharusnya bisa dicegah.

Titik Balik: Belajar Menerima dan Percaya

Setelah keluar dari ruang perawatan, aku bertemu seorang fisioterapis yang tidak hanya mengajariku latihan motorik, tapi juga mendengarkan. Ia berkata, "Pak Jeffrie, menerima pengobatan bukan berarti Bapak lemah. Justru Bapak sedang berani memperjuangkan kehidupan."

Kata-kata itu menghunjam. Aku mulai membuka hati. Aku mulai menanyakan dengan jujur ke dokter tentang setiap obat yang diberikan. Apa fungsinya, efek sampingnya, dan berapa lama harus dikonsumsi. Dan yang mengejutkan, dokter menjelaskan dengan sabar. Bukan seperti guru yang menggurui, tapi seperti teman yang ingin aku sembuh.

Hari demi hari, aku mulai minum obat sesuai resep. Tubuhku perlahan merespons. Jelas tak secepat sulap, tapi ada kemajuan. Aku bisa bicara lebih lancar, bisa berdiri dengan tongkat, dan yang terpenting: aku bisa memeluk anakku dengan kedua tangan lagi.

Obat dan Kehidupan: Bukan Musuh, Tapi Mitra

Kini aku sadar, obat bukanlah racun seperti yang dulu kutakuti. Obat adalah hasil dari perjuangan panjang para ilmuwan yang ingin menolong manusia. Memang, tak semua cocok untuk semua orang. Tapi menolak tanpa mencari tahu adalah bentuk ketidaktahuan yang bisa berujung celaka.

Obat bukan jaminan kesembuhan total, tapi ia adalah jembatan. Tanpa jembatan itu, aku terjatuh dua kali. Dengan jembatan itu, aku sekarang sedang melangkah, meski tertatih.

Kepada siapa pun yang membaca ini dan sedang berpikir untuk berhenti minum obat dokter, izinkan aku berkata: jangan ulangi kesalahanku. Dengarkan tubuhmu, dengarkan doktermu, dan yang paling penting, dengarkan suara kecil dalam hati yang ingin sembuh.

Penutup: Menyulam Harapan dari Puing-puing

Kini aku duduk lagi, bukan di tepi ranjang rumah sakit, tapi di kursi di beranda rumah. Tanganku yang dulu lemas, kini bisa menggenggam cangkir teh hangat. Kepalaku yang dulu penuh penyesalan, kini dipenuhi syukur.

Aku belajar dari luka, dan luka itu mengajarkanku bahwa kepercayaan kadang harus dipulihkan dengan kerendahan hati.

Aku tidak malu bercerita. Justru ini bentuk pertanggungjawabanku sebagai manusia yang pernah salah arah. Biarlah kisah ini jadi peringatan, jadi pelajaran, dan semoga jadi penyelamat bagi yang nyaris jatuh di lubang yang sama.

Terima kasih kepada para dokter, perawat, dan semua yang tak lelah menyemangati. Terima kasih kepada keluargaku yang tetap tinggal, bahkan saat aku nyaris menyerah.


“Obat yang Kutolak, Luka yang Kuterima”

(Puisi oleh Jeffrie Gerry)

Aku pernah berkata:
“Tak butuh pil itu, tubuhku bisa sendiri.”
Dengan dada penuh gengsi,
aku tolak tangan-tangan yang ingin menyembuhkan.
Kupikir aku kuat,
padahal aku hanya takut—
takut mengakui kelemahan.

Obat itu diam,
tak memaksa masuk ke nadiku,
tapi tubuhku pelan-pelan berseru,
membawa gejala yang kian nyata.

Tangan ini,
yang dulu menulis dan menggenggam mimpi,
menjadi berat seperti logam,
dan wajahku—
sebelahnya hilang dalam senyap.

Aku dibawa kembali ke ranjang,
bukan oleh kehendak,
tapi oleh kenyataan pahit yang kutanam sendiri.
Dokter hanya berkata pelan:
“Kalau saja dulu...”
Dan kalimat itu menggantung
di udara yang sudah penuh sesal.

Anakku menatapku bisu,
istriku menangis tak bersuara.
Dan aku?
Aku tenggelam dalam malu
karena terlalu pintar menolak,
tapi terlalu bodoh untuk percaya.

Kini, obat itu kembali hadir.
Kali ini kuterima,
kutatap tanpa curiga.
Bukan karena aku kalah,
tapi karena aku mau hidup.
Aku ingin sembuh,
dan untuk itu, aku harus rendah hati.

Setiap pil kini adalah doa,
setiap teguk adalah janji,
bahwa aku tak akan lagi mengabaikan
tangan-tangan yang ingin menyelamatkanku.

Aku tidak lebih hebat dari sains,
tidak lebih sakti dari pengobatan.
Aku hanya manusia
yang pernah memilih jalan salah,
lalu disadarkan oleh derita.

Dan kini, dari beranda rumah,
aku menatap langit pagi
dengan rasa syukur yang tak bisa kutahan.
Tanganku menggenggam cangkir,
dan hatiku menggenggam hikmah.

Obat yang dulu kutolak,
kini menjadi bagian dari puisi hidupku—
yang menyulam luka menjadi pelajaran,
dan rasa malu menjadi kekuatan baru.

Artikel ini dibuat berdasarkan yang terjadi pada penulis yang sekarang pasca pemulihan stroke - Jeffrie Gerry.

Posting Komentar

0Komentar

💬 Tinggalkan Komentar Anda
Terima kasih telah membaca artikel di Cara Lawan Stroke. Kami percaya, setiap komentar Anda bukan hanya kata-kata—tetapi bagian dari perjalanan penyembuhan bersama.

Silakan tinggalkan pertanyaan, pengalaman pribadi, atau sekadar pesan penyemangat di bawah ini. Kami akan membaca dan merespons dengan hati. Karena di sini, Anda tidak sendirian.

Note: Mohon untuk tidak menyertakan promosi obat, testimoni herbal tanpa bukti medis, atau tautan yang tidak relevan. Komentar yang mengandung unsur hoaks, spam, atau ujaran kebencian akan dihapus demi kebaikan bersama.

Posting Komentar (0)