Tuhan Tidak Membunuh, Stroke Adalah Peringatan
Oleh: Jeffrie Gerry
Pengantar: Ketika Langit Tak Lagi Menjawab
Ada hari-hari di mana langit terasa lebih jauh dari biasanya. Doa yang dulu mengalir deras, tiba-tiba menjadi kata-kata kosong. Suara hati pun kehilangan arah, seperti berjalan dalam kabut pekat. Begitulah perasaanku saat pertama kali diserang stroke.
Tubuh ini, yang dulu kuat dan lincah, mendadak lumpuh sebagian. Mulut kelu, kaki berat, tangan tak lagi menyentuh dengan tepat. Dunia yang kukenal runtuh dalam semalam. Di tengah kegelapan itu, muncul pertanyaan yang menggema dalam kepala dan hati: “Tuhan, mengapa Kau biarkan ini terjadi?”
Menyalahkan Langit: Reaksi Manusiawi
Awalnya aku marah. Sangat marah.
Marah kepada tubuh yang gagal menjalankan perintah.
Marah kepada waktu yang begitu tega menyita kekuatanku.
Dan yang paling menusuk: marah kepada Tuhan.
“Kalau Kau baik, mengapa Kau biarkan aku lumpuh?”
“Kalau Kau mencintai hamba-Mu, mengapa Kau diam melihat penderitaan ini?”
“Apakah Kau sedang menghukumku?”
“Apakah aku sudah tidak layak hidup?”
Pertanyaan-pertanyaan itu bukan sekadar pikiran—mereka adalah jeritan batin. Jeritan yang setiap malam kubisikkan di antara tetesan air mata dan perasaan tak berdaya.
Perlahan, Cahaya Itu Datang
Namun seperti mentari yang tak pernah ingkar pagi, perlahan cahaya itu datang. Bukan dalam bentuk kesembuhan instan, bukan dalam bentuk mukjizat besar seperti di film-film, tetapi dalam bentuk yang lebih sederhana dan lembut: kesadaran.
Kesadaran bahwa Tuhan tidak sedang membunuhku. Tuhan sedang memanggilku pulang ke arah yang benar.
Bukan mati—tapi bertobat.
Bukan musnah—tapi diperbarui.
Bukan diabaikan—tapi diperingatkan.
Stroke Itu Peringatan, Bukan Kutukan
Aku mulai memandang stroke ini dengan kacamata yang berbeda. Bukan lagi sebagai hukuman, tetapi sebagai peringatan penuh kasih. Seperti seorang ayah yang menepuk pundak anaknya yang mulai menyimpang arah. Tepukannya mungkin keras, tapi tujuannya untuk menyelamatkan.
Dalam keheningan malam-malam yang panjang, aku sadar bahwa sebelum stroke, aku hidup terlalu terburu-buru. Terlalu sibuk mengejar dunia, terlalu lelah mengejar ambisi, terlalu bangga dengan tubuh dan kemampuan sendiri. Tuhan nyaris kulupakan—terlalu jauh di belakang daftar prioritas.
Dan Tuhan, dengan penuh kasih, memanggilku kembali.
Peringatan Tidak Selalu Nyaman, Tapi Selalu Penting
Bukankah kita semua seperti itu?
Kita baru berhenti ketika dipaksa.
Kita baru diam ketika tubuh tak lagi kuat.
Kita baru sadar setelah kehilangan.
Dan kita baru berdoa ketika bencana datang.
Stroke, bagiku, adalah jeda suci dari Tuhan.
Ia berkata, “Anak-Ku, berhentilah sebentar. Dengarkan suara-Ku. Lihat kembali ke dalam dirimu. Sudahkah kamu hidup sesuai panggilanmu?”
Tuhan Tidak Pernah Berniat Membunuh
Jika Tuhan ingin menghabisiku, Ia bisa saja melakukannya seketika. Tapi nyatanya aku masih hidup.
Masih bisa bernapas.
Masih bisa berpikir.
Masih bisa mendengar doa.
Masih bisa memperbaiki banyak hal.
Bukankah itu bukti bahwa stroke bukan akhir, tapi awal?
Serangan itu bukan palu kematian, melainkan lonceng kebangunan rohani.
Kesempatan Kedua: Hadiah Tak Terhingga
Sejak itu, aku menjalani hari-hariku dengan cara berbeda. Tidak lagi terlalu mengejar pengakuan, tidak lagi sibuk memuaskan dunia, tetapi mulai belajar mengenal diri dan mengenal Tuhan lebih dalam.
Setiap langkah kaki yang dulu kuanggap remeh, kini menjadi momen syukur.
Setiap suapan makanan yang berhasil kutelan tanpa bantuan, menjadi bentuk kasih karunia.
Setiap kata yang keluar dari mulutku, bukan lagi untuk kesombongan, tapi untuk membangun.
Dan semua itu dimulai dari peringatan yang bernama stroke.
Tuhan Bukan Algojo, Tuhan adalah Penyembuh
Betapa sering kita melihat Tuhan sebagai "algojo yang siap menghukum". Kita lupa bahwa Tuhan adalah Bapa, Dokter, Gembala, Sahabat.
Seorang dokter harus melakukan operasi yang menyakitkan demi menyelamatkan pasien.
Seorang gembala harus memukul serigala demi melindungi domba.
Seorang sahabat harus menegur demi kebaikan.
Tuhan adalah semuanya itu. Dan stroke adalah operasi spiritual yang harus kuterima.
Pulang ke Pelukan Kasih
Dalam masa-masa pemulihan, aku banyak merenung.
Pikiran tentang kematian yang dulu menakutkan, kini berubah menjadi perenungan tentang hidup yang lebih bermakna. Aku tak ingin mati dalam keadaan jauh dari Tuhan. Dan stroke memberiku waktu, memberiku detik-detik emas untuk pulang, untuk memperbaiki, untuk bertobat, untuk menjadi manusia baru.
Pelajaran dari Derita
-
Jangan tunda bertobat.
Hari esok tidak dijanjikan. Hari ini adalah hadiah.
-
Hidup bukan soal cepat, tapi soal arah.
Jangan bangga berlari kalau kau menuju jurang. Lebih baik melambat dan berjalan ke surga.
-
Kasih Tuhan sering datang dalam bentuk yang tidak kita suka.
Tapi kasih tetaplah kasih, meski dibungkus derita.
-
Setiap napas adalah kesempatan baru.
Jangan sia-siakan. Bahkan dalam lumpuh sekalipun, kita masih bisa mengasihi, bersyukur, dan menjadi terang.
Kesaksian Kecilku untuk Dunia
Aku tidak lagi bertanya "mengapa aku?".
Kini aku bertanya: “Untuk apa aku diberi kesempatan hidup kembali?”
Dan jawabannya selalu: untuk menjadi berkat.
Untuk memberi tahu siapa pun yang sedang terpuruk, bahwa stroke bukan akhir.
Tuhan tidak sedang membunuhmu.
Tuhan sedang menyapamu dengan cara yang paling menggetarkan.
Jangan menolak. Jangan melawan. Dengarkan suara-Nya.
Mungkin tubuhmu terluka, tapi jiwamu bisa bangkit.
Penutup: Peluklah Peringatan Itu
Jika kamu saat ini sedang dalam masa pemulihan, atau mungkin sedang merasa tubuhmu sedang “dipukul” oleh kehidupan, jangan buru-buru menyalahkan Tuhan. Mungkin itu adalah pelukan-Nya yang keras. Mungkin itu adalah teguran-Nya yang lembut dalam bentuk keras.
Tuhan tidak sedang menghukummu.
Tuhan sedang memanggilmu.
Dan panggilan-Nya selalu penuh kasih, meski tak selalu nyaman.
Peluklah peringatan itu.
Karena dari situ, hidup barumu akan dimulai.
Artikel ini dibuat berdasarkan yang terjadi pada penulis yang sekarang pasca pemulihan stroke – Jeffrie Gerry.
Semoga tulisan ini menjadi jendela terang bagi siapa pun yang sedang mencari makna di balik penderitaan. Tuhan tidak membunuh. Tuhan menyelamatkan. Dan kadang, penyelamatan itu datang dalam bentuk yang sangat tak terduga: stroke.
Doa: Dalam PelukanMu, Aku Kembali Bangkit
Oleh: Jeffrie Gerry
Ya Tuhan yang Maha Kasih,
Aku datang hari ini, bukan dengan tubuh yang sempurna,
bukan dengan jiwa yang utuh,
melainkan dengan hati yang remuk,
tulang yang lemah,
dan hidup yang baru saja Kau goyangkan.
Aku datang dalam diam dan air mata.
Dengan tangan yang masih gemetar dan kaki yang belum sekuat dulu.
Dengan hati yang dulu penuh amarah,
dan kini belajar berserah.
Tuhan, aku tidak menyangka akan sampai di titik ini.
Di titik di mana tubuhku sendiri menjadi asing.
Di mana mulutku kehilangan kata,
dan langkahku kehilangan arah.
Tapi di sinilah aku. Masih hidup.
Dan karena itu, aku percaya: Engkau tidak membunuhku.
Engkau menyentuhku dengan kasih—meski terasa seperti badai.
Aku sempat salah paham, Tuhan.
Aku pikir Kau sedang menghukumku.
Aku pikir Kau marah padaku.
Aku pikir aku tak layak lagi mendapat cinta-Mu.
Namun perlahan Engkau menjawab—bukan lewat suara,
melainkan lewat keheningan,
lewat detik-detik yang panjang di ranjang,
lewat malam-malam tanpa tidur,
lewat airmata yang tak bisa kujelaskan kepada siapa pun.
Engkau hadir di sana, di antara denyut nadi yang lemah.
Engkau tak pernah pergi.
Tuhan, Engkau tahu sebelum stroke itu datang, aku terlalu jauh.
Jauh dari doa,
jauh dari kasih,
jauh dari tujuan-Mu.
Aku terlalu sibuk mengejar dunia.
Terlalu bangga akan kekuatanku sendiri.
Terlalu percaya bahwa aku bisa berjalan sendiri tanpa-Mu.
Maka ketika aku jatuh,
bukan Engkau yang menjatuhkanku.
Tapi Engkau yang menemukanku di dasar kejatuhan itu.
Hari itu tubuhku rebah,
tapi jiwaku Kau bangunkan.
Hari itu kakiku lumpuh,
tapi arah hidupku Kau luruskan.
Hari itu aku merasa sekarat,
tapi justru Engkau sedang memberiku kesempatan kedua.
Tuhan…
Terima kasih karena tidak membiarkanku mati
dalam dosa,
dalam kesombongan,
dalam kesibukan dunia yang kosong.
Terima kasih untuk peringatan yang menyakitkan ini,
yang justru menjadi hadiah terbesar dalam hidupku.
Sekarang aku tahu…
Penyakit tidak selalu kutukan.
Kadang ia adalah surat cinta dari Surga
yang ditulis dalam bahasa air mata.
Tuhan, di setiap tarikan napas yang kini kuhirup,
aku ingin mengucap syukur.
Bukan karena aku sudah sembuh total,
tapi karena aku masih punya kesempatan untuk mencintai,
untuk belajar,
untuk melayani.
Aku tahu, banyak hal belum kembali seperti semula.
Tubuh ini masih belajar berjalan.
Lidah ini masih mencari irama kata.
Pikiran ini masih belajar bersahabat dengan sabar.
Tapi, ya Tuhan, di tengah segala keterbatasan ini,
aku memeluk-Mu lebih erat dari sebelumnya.
Tuhan…
Ajarkan aku untuk tidak mengeluh,
karena aku masih lebih beruntung dari banyak orang.
Ajarkan aku untuk melihat terang,
meski hidupku pernah dibungkus gelap.
Ajarkan aku untuk memaafkan diriku sendiri,
karena selama ini aku marah kepada kelemahanku.
Hari ini aku ingin berdamai.
Berdamai dengan masa laluku.
Berdamai dengan diriku.
Berdamai dengan jalan-Mu yang tak kupahami.
Aku tahu sekarang…
Stroke bukan ujung.
Stroke adalah awal.
Awal dari hidup yang lebih tenang.
Hidup yang lebih tahu arah.
Hidup yang tidak perlu terburu-buru.
Tuhan, jika hari esok masih Kau izinkan,
biarkan aku mengisinya bukan dengan ambisi dunia,
tetapi dengan cinta.
Dengan kebaikan.
Dengan doa yang lebih tulus.
Dengan senyum kepada orang lain.
Dengan kata yang menyembuhkan, bukan melukai.
Jika suatu hari tubuh ini kembali kuat,
biarlah itu menjadi kekuatan untuk menolong sesama.
Bukan untuk kesombongan,
bukan untuk mengejar gengsi,
tapi untuk menjadi saluran kasih-Mu.
Dan jika Engkau berkenan,
pakailah mulutku ini untuk memberi harapan kepada yang patah,
pakailah langkahku ini untuk menyapa yang kesepian,
pakailah hatiku ini untuk memahami mereka yang sedang berjuang melawan penyakit,
seperti aku dulu.
Tuhan…
Aku ingin menjadi saksi hidup
bahwa luka tidak selalu berarti akhir.
Bahwa sakit bisa menjadi jalan pulang.
Bahwa kehilangan bisa membuka mata.
Dan bahwa Engkau…
tidak pernah sekalipun meninggalkanku.
Hari ini aku bersyukur untuk tongkat yang menopang,
untuk kursi roda yang sempat jadi sahabat,
untuk suara perawat yang membangunkanku setiap pagi,
untuk fisioterapis yang sabar,
untuk keluarga yang tetap mencintaiku dalam bentukku yang baru.
Itu semua adalah tangan-tangan-Mu yang menyentuhku secara nyata.
Dan untuk setiap jiwa yang kini membaca atau mendoakan ini,
aku berdoa pula bagi mereka:
Jika mereka sedang di lembah penderitaan,
dekatkan mereka kepada-Mu.
Jika mereka merasa tak punya harapan,
berikan mereka setitik cahaya.
Jika mereka merasa Kau telah pergi,
bisikkan bahwa Kau lebih dekat dari nadi mereka.
Tuhan…
Aku tidak lagi meminta tubuh yang sempurna,
tapi hati yang penuh kasih.
Aku tidak lagi mendambakan kesuksesan yang megah,
tapi hidup yang memuliakan-Mu.
Aku tidak lagi menuntut segalanya kembali seperti dulu,
karena aku tahu…
Engkau sedang membentukku menjadi baru.
Dan ketika nanti waktuku benar-benar tiba,
biarlah aku pulang dengan senyum,
karena aku tahu…
aku telah mengalami kasih-Mu, bahkan lewat stroke sekalipun.
Terima kasih, Tuhan.
Engkau tidak membunuhku.
Engkau memanggilku.
Dan aku—hamba-Mu—telah kembali.
Amin.
Doa ini dibuat dan ditulis berdasarkan pengalaman nyata penulis pasca pemulihan stroke – Jeffrie Gerry.
Semoga menjadi penyembuh batin bagi siapa pun yang sedang meraba makna dari penderitaan hidup.
💬 Tinggalkan Komentar Anda
Terima kasih telah membaca artikel di Cara Lawan Stroke. Kami percaya, setiap komentar Anda bukan hanya kata-kata—tetapi bagian dari perjalanan penyembuhan bersama.
Silakan tinggalkan pertanyaan, pengalaman pribadi, atau sekadar pesan penyemangat di bawah ini. Kami akan membaca dan merespons dengan hati. Karena di sini, Anda tidak sendirian.
Note: Mohon untuk tidak menyertakan promosi obat, testimoni herbal tanpa bukti medis, atau tautan yang tidak relevan. Komentar yang mengandung unsur hoaks, spam, atau ujaran kebencian akan dihapus demi kebaikan bersama.